Pemakaian Air Tanah Percepat Tenggelamnya Jakarta
Hujan mulai jatuh, sesuai dengan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bulan lalu. Di Jakarta, hujan telah mulai menampakkan tanda-tanda ulangan daur tahunan banjir yang tentu bikin pening warga dan otoritas setempat. Seperti dapat ditengok di daerah Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Sabtu (7/11).
Di tengah kekhawatiran mengenai salinan siklus banjir, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mewanti-wanti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk lebih mewaspadai penurunan permukaan tanah ketimbang banjir belaka. Pasalnya, perkara tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab pokok banjir di ibu kota Indonesia.
"Menurut data, 40 persen wilayah Jakarta sudah mengalami penurunan tanah. Dari 40 persen wilayah Jakarta yang sudah mengalami penurunan tanah, wilayah yang paling banyak ialah Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan sebagian wilayah Jakarta Barat," ujarnya dikutip Detik (8/11).
Penyebab yang terutama penurunan tanah tersebut? "Penggunaan air tanah yang berlebihan," katanya.
Moriyasu Kunihiro, Penasihat Kebijakan Sumber Daya Air untuk Kementerian Pekerjaan Umum dari Japan Indonesian Cooperation Agency (JICA), pada kesempatan berbeda memaparkan hubungan antara kepadatan penduduk dengan banyaknya penggunaan sumur air tanah.
"Permukaan tanah turun karena Jakarta...banyak mengambil air dari sumur, ... (yang lantas) menyebabkan tanah turun," ujarnya dikutip Viva (4/11).
Ia menyebut sektor industri dan rumah tangga sebagai kontributor terbesar pemakai air tanah Jakarta.
Pernyataan Moriyasu itu bertalian dengan prediksi bahwa Jakarta bakal tenggelam pada 2050 jika praktik pemanfaatan air tanah dengan laju kiwari terus berlangsung.
Dalam menanggapi prediksi tersebut, Jepang, terangnya, siap membantu Jakarta dalam menekan percepatan tersebut dengan menerapkan teknologi manajemen air tanah. Dalam hal waktu persis penyelenggaraan bantuan, Moriyasu tidak dapat memberikan kepastian.
"Semua ada proses. Untuk melakukan riset saja membutuhkan waktu 10 tahun," katanya dikutip Viva (7/11).
Fook Chuan Eng, spesialis senior masalah air dan sanitasi dari Bank Dunia, menjelaskan bahwa fenomena penurunan tanah di Jakarta terjadi karena volume air yang disedot terlampau besar. "Orang terus mencari air hingga kian ke dalam. Tanah pun amblas," ujarnya dikutip Reuters (22/12/2014).
Pertumbuhan ekonomi domestik dalam beberapa dasawarsa belakangan telahmengubah lanskap kota yang sebelumnya tumbuh horizontal menjadi dipenuhi bangunan-bangunan menjulang. Akibatnya, bobot dari bangunan-bangunan tersebut mendesak tanah di bawahnya.
Salah satu pakar yang fasih dengan ancaman banjir Jakarta adalah JanJaap Brinkman, ahli masalah air dari Deltares, institut penelitian air Belanda.
Ia adalah seorang anggota konsorsium yang diminta oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan solusi dalam mempertahankan dan memulihkan jalur-jalur air di Jakarta tidak lama setelah banjir 2007 melumpuhkan ibu kota.
Menurutnya, penurunan lahan Jakarta berkisar antara 7,5 cm hingga 25 cm per tahun. Ujungnya, air dari laut akan masuk ke kota--yang 40 persen wilayahnya memang sudah berada di bawah permukaan air laut. Jadi, seperti diulas National Geographic Indonesia, titik terendah Jakarta kini terletak di kawasan Kota.
"Bayangkan bila lahan Jakarta terus menurun seperti sekarang. Seberapa hebat bencana yang akan ditimbulkan banjir besar selanjutnya," ujarnya (16/10).