Badan Restorasi Gambut memasang 20 unit alat pemantau muka air gambut di dua kabupaten Sumatera Selatan yakni Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin untuk meningkatkan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan.
Kepala BRG Nazir Foead di Palembang, Kamis (9/2/2017), mengatakan, alat yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi telepon seluler ini direncanakan akan disebar di tujuh provinsi karena pemerintah sudah mengajukan melalui APBN sebanyak 400 unit.
"Untuk tahun ini, pertama kali dipasang di Sumsel, nanti Riau dan Kalteng akan menyusul. Begitu pula dengan provinsi lain yang masuk prioritas perbaikan gambut," kata Nazir seusai membuka kegiatan pelatihan pemantauan muka air gambut di Palembang.
Ia mengatakan melalui alat berteknologi ini diharapkan deteksi dini dapat dilakukan karena setelah pemantauan hanya membutuhkan waktu dua jam untuk pendistribusian data hingga ke level pimpinan.
Kondisi ini sangat berbeda dengan pemantauan secara manual yang terkadang membutuhkan waktu hingga satu bulan untuk sampai pada pengambil keputusan.
Tentunya ini sudah terlambat mengingat kondisi lahan gambut dapat berubah dengan cepat tergantung dengam suhu dan kelembaban yang terjadi.
"Seperti diketahui, medan di kawasan gambut itu relatif berat. Terkadang harus ditempuh dengan berjalan kaki hingga berkilo-kilometer. Namun dengan teknologi ini, kesulitan tersebut dapat diatasi karena alat menggunakan satelit," kata dia.
Alat ini merupakan hasil penelitian BPPT dan ke depan akan terus dikembangkan bersama Jepang.
"Jepang sendiri sudah memiliki teknologinya dan mau mengalihkannya ke Indonesia tanpa perlu memberikan royalti," kata dia.
Secara teknis, alat ini digunakan untuk memastikan bahwa tinggi muka air gambut tidak kurang dari 40 cm dari titik nol (satu kesatuan hidrologi gambut/kubah).
Jika muka air berkurang maka sejatinya menjadi kewaspadaan para pemangku kepentingan setempat karena berisiko terbakar di saat musim kemarau.
"Gambut itu harus basah, itu sudah harga mati. Bahkan pemerintah sudah mengeluarkan PP tentang tinggi minimal muka air gambut yang wajib dipenuhi pemilik konsesi," kata dia.
Kebakaran hutan dan lahan masih menjadi ancaman bagi Sumatera Selatan yang tercatat mengalami bencana kabut asap hebat pada 2015. Kala itu, kurang lebih 736.000 hektare terbakar yang sebagian besar berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Pada 2016, kebakaran hutan dan lahan berhasil ditekan hingga 99,87 persen yang sebagian besar dipengaruhi hal positif yakni iklim kemarau basah.
Namun, pada 2017 terdapat ancaman lebih karena musim kemarau diperkirakan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang diperkirakan mulai Maret.*