Di samping meningkatnya anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam beberapa tahun terakhir, ketersediaan data kelautan dan perikanan yang handal sangatlah penting untuk mengambil kebijakan yang tepat sasaran.
Konflik antara Walikota Bitung dan Menteri Kelautan dan Perikanan terus berlanjut. Setelah berulang kali memprotes kebijakan moratorium penggunaan kapal ikan asing dan eks asing, Walikota Max Lomban menyampaikan keluh kesahnya kepada rombongan anggota DPR yang melakukan kunjungan kerja di Bitung, yang terkenal sebagai kota tuna tersebut.
"Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian dan Kelautan berdampak pada peningkatan kemiskinan dan penganguran tenaga kerja bagi masyarakat Bitung,” ujar Lomban, seperti dikutip www.manadopostonline.com, pertengahan Agustus lalu.
Menanggapi keluhan tersebut, Menteri Susi Pudjiastuti menyodorkan data Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Manado yang justru mencatat peningkatan produksi perikanan di Bitung. Ekspor produk perikanan Sulawesi Utara periode Januari-Juli 2017 mencapai 66,25 juta dolar AS, naik 23,46 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2016.
"Tidak benar apa yang dikatakan Walikota Bitung, buktinya ekspor perikanan Sulawesi Utara naik," kata Susi, seperti dikutip Kompas, akhir Agustus lalu.
Terlepas dari esensi perdebatan dan akibat dari kebijakan yang diambil, konflik antara Menteri Susi dan Walikota Max Lomban tak lepas dari lemahnya manajemen pengelolaan data perikanan nasional. Kedua pejabat tersebut menggunakan data yang saling bertolak belakang untuk mendukung pernyataan yang mereka buat.
Padahal, di tengah upaya membangkitkan sektor maritim nasional, yang ditandai dengan semakin meningkatnya anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam beberapa tahun terakhir, ketersediaan data kelautan dan perikanan yang handal sangatlah penting untuk mengambil kebijakan yang tepat sasaran. Konferensi dua tahunan World Ocean Summit (WOS) yang digelar di Bali pada pada 22-24 Februari lalu bahkan menyoroti minim dan buruknya ketersediaan dan pengelolaan data kelautan dan perikanan.
Pembenahan pengelolaan data perlu mendapat perhatian serius karena tanpa data yang rapih, lengkap, dan handal, maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah dapat berpotensi kontraproduktif. Oleh sebab itu, pembenahan manajemen data, mulai dari pengumpulan, penyimpanan, hingga analisis, harus menjadi prioritas lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan isu maritime tersebut.
Tentunya, tak dapat dipungkiri bahwa lemahnya pengelolaan data maritim nasional tak lepas dari kurang “seksi’-nya isu kelautan di masa silam. Meski laut meliputi lebih dari sepertiga wilayah Indonesia, sektor maritim kurang mendapat prioritas, sehingga pengelolaan data kelautan kurang mendapat perhatian, baik dari instansi pemerintahan, pendidikan, maupun media. Selain itu, data kelautan dan perikanan tercerai-berai di berbagai intansi, baik di pusat maupun daerah.
Tak hanya konflik antara Walikota Bitung dan Menteri Kelautan dan Perikanan, didasari data yang berbeda, “adu argumentasi” juga terjadi antara Menteri Susi dan pelaku industri ihwal dampak moratorium penggunaan kapal itu. Susi menegaskan, berkat moratorium, tangkapan nelayan meningkat. Sementara para pelaku industri mengeluhkan minimnya tangkapan. Dan, foto-foto pabrik pengelolaan ikan yang sepi dan ditinggal pekerjanya menjadi viral di internet.
Lemahnya pengelolaan dan analisis data juga diduga menjadi pemicu ketegangan antara Menteri Susi dan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, pertengahan tahun lalu. Ketika itu, Susi berkeras untuk melanjutkan moratorium, sementara Luhut meminta dilakukan evaluasi karena dampak negative kebijakan tersebut bagi industri.
Susi juga menegaskan bahwa moratorium akan memberi jeda bagi ikan untuk bereproduksi. Alih-alih, Luhut, mengatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan kemungkinan memberi izin penangkapan ikan kepada nelayan asing.
Kekacauan pengelolaan data juga mengemuka dalam berbagai seminar publik. Para pembicara yang hadir, baik pengambil kebijakan, akademisi, dan pengusaha, memiliki data yang berbeda. Walhasil, sulit untuk mencapai kesepahaman bersama untuk menyelesaikan problem yang muncul di sektor maritim. Di instansi pemerintah, data yang dipegang tiap instansi juga berbeda, sehingga—selain akibat ago sektoral—sulit terwujud kolaborasi antara lembaga negara.
Minimnya transparansi juga menjadi penyebab buruknya pengelolaan data . Padahal, bila lembaga pemerintah lebih terbuka dan data yang dimiliki mudah diakses, akan mendorong proses verifikasi yang dilakukan publik, baik dalam bentuk debat, sehingga data yang disimpan lebih teruji kesahihannya. Munculnya sejumlah organisasi yang berfokus pada manajemen data dan meluasnya praktik jurnalisme data juga akan membantu pengelolaan dan verifikasi data.
Oleh sebab itu, tak dapat ditunda lagi, pemerintah harus segara memprioritaskan pengelolaan data kelautan dan perikanan untuk mewujudkan harapan di sektor maritim. Sebagai contoh, upaya tersebut dapat dimulai dengan "one portal policy" atau pembuatan portal khusus data maritim, yang merupakan kolaborasi seluruh stakeholder, baik pemerintah, lembaga pendidikan, dan pelaku usaha.
Kolaborasi ini diharapkan akan menghasilkan data yang lebih handal sebagai dasar pengambilan kebijakan yang tepat sasaran, sehingga mendukung upaya mewujudkan tekad Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. ***
Catatan: Sebagian isi artikel ini pernah dimuat di The Jakarta Post edisi 4 Maret 2017.
Artikel terkini
Indonesia saat ini dikenal sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Namun dalam pemanfaatannya, Indonesia masih berada di posisi ketiga dengan jumlah produksi energi panas bumi mencapai 1,643 Megawatt. Di atas Indonesia terdapat Amerika Serikat dan Filipina. Namun pada tahun 2021, Indonesia diperkirakan mampu untuk melampaui kedua negara tersebut.
Seperti diberitakan CNN Indonesia (12/9), Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusiana mengungkapkan bahwa proyeksi keunggulan Indonesia tersebut berdasarkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang kapasitasnya terus meningkat.
Bahkan dirinya yakin, Indonesia pada tahun 2018 akan mampu memproduksi tenaga listrik panas bumi sebesar 2.023,5 Megawatt (MW). Kapasitas tersebut dapat diraih berkat beroperasinya PLTP Sarulla di Tapanuli Utara (2 x 110 MW), PLTP Karaha Bodas di Tasikmalaya (30 MW), PLTP Sorik Marapi di Mandailing Natal (2 x 20 MW) dan PLTP Lumut Balai di Muara Enim (55 MW).
Kementerian ESDM sendiri telah membuat peta jalan energi panas bumi di Indonesia. Dalam peta tersebut yang ditargetkan Indonesia akan mampu memproduksi energi sebesar 3.559,5 MW pada tahun 2021. Angka ini diklaim bakal melampaui posisi Amerika Serikat dan Filipina.
Optimisme proyeksi ini berdasarkan pada keadaan industri panas bumi di Filipina yang sebentar lagi akan mencapai titik maksimal potensi. Sementara di Amerika Serikat, perkembangan pembangkit berbasis panas bumi mengalami stagnansi akibat kurangnya insentif eksplorasi baru.
"Kami punya cadangan panas bumi sebesar 17.506 MW dan sumber daya sebesar 11.073 MW tapi belum dioptimalkan. Ini jadi peluang bagi para investor sekaligus memenuhi kebutuhan energi nasional," ujar Dadan.
Untuk itu, pemerintah secara konsisten memberikan insentif berupa kemudahan fiskal dan non-fiskal pada para investor panas bumi. Selain itu juga terdapat regulasi khusus yang mengatur tentang panas bumi yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak langsung. Berkat peraturan ini, pengembangan panas bumi dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi sebab eksplorasi panas bumi tidak lagi dikategorikan sebagai upaya pertambangan.
Selain itu juga terdapat Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Di dalam peraturan ini terdapat aturan mutakhir tentang Biaya Pokok Penyediaan (BPP). Berkat aturan ini, harga pokok listrik yang dihasilkan bisa lebih kompetitif.
Indonesia yang merupakan negara lingkar api sampai saat ini memiliki 331 titik potensi pemanfaatan energi panas bumi. Namun pemanfaatannya baru mencapai 10 persen saja. Mampukah Indonesia menjadi negara terbesar dunia yang memproduksi energi panas bumi?
Seperti diberitakan CNN Indonesia (12/9), Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusiana mengungkapkan bahwa proyeksi keunggulan Indonesia tersebut berdasarkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang kapasitasnya terus meningkat.
Bahkan dirinya yakin, Indonesia pada tahun 2018 akan mampu memproduksi tenaga listrik panas bumi sebesar 2.023,5 Megawatt (MW). Kapasitas tersebut dapat diraih berkat beroperasinya PLTP Sarulla di Tapanuli Utara (2 x 110 MW), PLTP Karaha Bodas di Tasikmalaya (30 MW), PLTP Sorik Marapi di Mandailing Natal (2 x 20 MW) dan PLTP Lumut Balai di Muara Enim (55 MW).
Kementerian ESDM sendiri telah membuat peta jalan energi panas bumi di Indonesia. Dalam peta tersebut yang ditargetkan Indonesia akan mampu memproduksi energi sebesar 3.559,5 MW pada tahun 2021. Angka ini diklaim bakal melampaui posisi Amerika Serikat dan Filipina.
Optimisme proyeksi ini berdasarkan pada keadaan industri panas bumi di Filipina yang sebentar lagi akan mencapai titik maksimal potensi. Sementara di Amerika Serikat, perkembangan pembangkit berbasis panas bumi mengalami stagnansi akibat kurangnya insentif eksplorasi baru.
"Kami punya cadangan panas bumi sebesar 17.506 MW dan sumber daya sebesar 11.073 MW tapi belum dioptimalkan. Ini jadi peluang bagi para investor sekaligus memenuhi kebutuhan energi nasional," ujar Dadan.
Untuk itu, pemerintah secara konsisten memberikan insentif berupa kemudahan fiskal dan non-fiskal pada para investor panas bumi. Selain itu juga terdapat regulasi khusus yang mengatur tentang panas bumi yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak langsung. Berkat peraturan ini, pengembangan panas bumi dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi sebab eksplorasi panas bumi tidak lagi dikategorikan sebagai upaya pertambangan.
Selain itu juga terdapat Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Di dalam peraturan ini terdapat aturan mutakhir tentang Biaya Pokok Penyediaan (BPP). Berkat aturan ini, harga pokok listrik yang dihasilkan bisa lebih kompetitif.
Indonesia yang merupakan negara lingkar api sampai saat ini memiliki 331 titik potensi pemanfaatan energi panas bumi. Namun pemanfaatannya baru mencapai 10 persen saja. Mampukah Indonesia menjadi negara terbesar dunia yang memproduksi energi panas bumi?
Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air harus mengacu pada amanat Mahkamah Konstitusi mengenai prinsip dasar pengelolaan sumber daya air agar tercipta pengelolaan berkelanjutan, kata Direktur Center for Regulation, Policy and Governance Mohamad Mova AlAfghani.
"Regulasi tersebut juga perlu memfasilitasi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan sehingga dapat menjadi payung hukum untuk menjawab tantangan yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia terkait pengelolaan sumber daya air (SDA)," katanya di Yogyakarta, Rabu.
Di sela Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia 2017, Mova mengatakan ada beberapa hal penting dalam pembentukan kebijakan RUU SDA yang perlu diperhatikan agar tetap mengacu pada enam prinsip dasar pengelolaan SDA yang diputuskan MK.
Oleh karena itu, perlu definisi SDA yang jelas, menjaga agar akses pada SDA untuk kebutuhan masyarakat umum tidak terhalangi, memastikan kepentingan semua pemangku kepentingan terjaga, dan mendorong semua pihak untuk berperan mewujudkan pengelolaan SDA berkelanjutan.
"Definisi usaha dan pengusahaan perlu penajaman, tidak melihat aspek keuntungan saja tetapi juga volume. Air untuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) seharusnya tidak dikategorikan sebagai pengusahaan karena terkait hak atas air," katanya.
Menurut dia, batasan dan syarat tertentu dan ketat dalam putusan MK justru terkait pengusahaan. Dalam RUU SDA disebutkan bahwa SPAM izinnya hanya diberikan kepada BUMN/BUMD saja sehingga menutup kemungkinan masyarakat dan swasta berkiprah dalam penyediaan akses bagi publik secara luas.
Selain itu, Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) disetarakan dengan SPAM. Padahal, hal itu tidak sesuai dengan Human Right to Water (HRTW) di mana akses bagi masyarakat harus melalui air perpipaan yang bisa diminum dengan harga terjangkau.
"Pengutamaan BUMN/BUMD di atas Unit Pengelola Teknis/Unit Pengelola Teknis Daerah (UPT/UPTD) dalam hal SPAM tidak tepat. Justru hak penguasaan negara lebih dapat dilaksanakan pada UPT/UPTD bukannya BUMN/BUMD karena merupakan entitas terpisah," kata Mova.
Ketua Departemen Teknik Geologi FT UGM dan Ketua Groundwater Working Group (GWWG) Heru Hendrayana mengatakan sesuai prinsip MK, pengendalian izin dilakukan pemerintah atas pertimbangan aspek ketersediaan SDA untuk menjamin keadilan dan daya dukung lingkungan hidup.
"Pengendalian izin harus dimaknai bahwa setiap orang atau badan hukum usaha yang telah memenuhi persyaratan dapat memohon izin kepada pemerintah. Pengendalian izin juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjamin tidak adanya monopoli terhadap izin pengusahaan air bagi perorangan atau badan hukum tertentu," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus menyediakan data berupa neraca SDA pada setiap cekungan air tanah dan wilayah sungai serta melakukan pembaharuan data secara berkala. Dalam penyediaan data itu pemerintah dapat melibatkan universitas, swasta, dan masyarakat.
Data itu dapat digunakan untuk memonitor perkembangan ketersediaan SDA. Untuk memastikan ketersediaan SDA tersebut, dalam RUU SDA harus dimasukkan syarat-syarat tertentu yang ketat sesuai prinsip kelima dan keenam MK.
"Hal itu dapat menggunakan syarat-syarat seperti tercantum di dalam Peraturan Pemeritah Nomor 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air, pasal 61 dan 70 serta dengan menambah persyaratan semua izin alokasi penggunaan air harus didasarkan pada hasil studi kelayakan hidrogeologi atau hidrologi yang dilakukan pemerintah atau swasta yang disetujui pemerintah," kata Heru.
(U.B015/S024)
"Regulasi tersebut juga perlu memfasilitasi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan sehingga dapat menjadi payung hukum untuk menjawab tantangan yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia terkait pengelolaan sumber daya air (SDA)," katanya di Yogyakarta, Rabu.
Di sela Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia 2017, Mova mengatakan ada beberapa hal penting dalam pembentukan kebijakan RUU SDA yang perlu diperhatikan agar tetap mengacu pada enam prinsip dasar pengelolaan SDA yang diputuskan MK.
Oleh karena itu, perlu definisi SDA yang jelas, menjaga agar akses pada SDA untuk kebutuhan masyarakat umum tidak terhalangi, memastikan kepentingan semua pemangku kepentingan terjaga, dan mendorong semua pihak untuk berperan mewujudkan pengelolaan SDA berkelanjutan.
"Definisi usaha dan pengusahaan perlu penajaman, tidak melihat aspek keuntungan saja tetapi juga volume. Air untuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) seharusnya tidak dikategorikan sebagai pengusahaan karena terkait hak atas air," katanya.
Menurut dia, batasan dan syarat tertentu dan ketat dalam putusan MK justru terkait pengusahaan. Dalam RUU SDA disebutkan bahwa SPAM izinnya hanya diberikan kepada BUMN/BUMD saja sehingga menutup kemungkinan masyarakat dan swasta berkiprah dalam penyediaan akses bagi publik secara luas.
Selain itu, Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) disetarakan dengan SPAM. Padahal, hal itu tidak sesuai dengan Human Right to Water (HRTW) di mana akses bagi masyarakat harus melalui air perpipaan yang bisa diminum dengan harga terjangkau.
"Pengutamaan BUMN/BUMD di atas Unit Pengelola Teknis/Unit Pengelola Teknis Daerah (UPT/UPTD) dalam hal SPAM tidak tepat. Justru hak penguasaan negara lebih dapat dilaksanakan pada UPT/UPTD bukannya BUMN/BUMD karena merupakan entitas terpisah," kata Mova.
Ketua Departemen Teknik Geologi FT UGM dan Ketua Groundwater Working Group (GWWG) Heru Hendrayana mengatakan sesuai prinsip MK, pengendalian izin dilakukan pemerintah atas pertimbangan aspek ketersediaan SDA untuk menjamin keadilan dan daya dukung lingkungan hidup.
"Pengendalian izin harus dimaknai bahwa setiap orang atau badan hukum usaha yang telah memenuhi persyaratan dapat memohon izin kepada pemerintah. Pengendalian izin juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjamin tidak adanya monopoli terhadap izin pengusahaan air bagi perorangan atau badan hukum tertentu," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus menyediakan data berupa neraca SDA pada setiap cekungan air tanah dan wilayah sungai serta melakukan pembaharuan data secara berkala. Dalam penyediaan data itu pemerintah dapat melibatkan universitas, swasta, dan masyarakat.
Data itu dapat digunakan untuk memonitor perkembangan ketersediaan SDA. Untuk memastikan ketersediaan SDA tersebut, dalam RUU SDA harus dimasukkan syarat-syarat tertentu yang ketat sesuai prinsip kelima dan keenam MK.
"Hal itu dapat menggunakan syarat-syarat seperti tercantum di dalam Peraturan Pemeritah Nomor 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air, pasal 61 dan 70 serta dengan menambah persyaratan semua izin alokasi penggunaan air harus didasarkan pada hasil studi kelayakan hidrogeologi atau hidrologi yang dilakukan pemerintah atau swasta yang disetujui pemerintah," kata Heru.
(U.B015/S024)
Sumber : Antara | Editor: Ruslan Burhani
Penyedotan air tanah di Jakarta masih sulit dihindari seiring dengan penyediaan air bersih perpipaan yang belum menjangkau seluruh wilayah. Padahal, penyedotan air tanah diperkirakan menjadi salah satu pemicu utama penurunan muka tanah.
Berdasarkan data PAM Jaya, cakupan layanan air bersih sampai akhir tahun 2015 mencapai 814.000 sambungan atau sekitar 62,08 persen dari total wilayah Jakarta. ”Ada kenaikan 0,6 persen dibandingkan tahun 2014,” kata Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat, akhir pekan lalu.
Kebutuhan air bersih di DKI Jakarta mencapai 29.474 liter per detik. Namun, kapasitas produksi air perpipaan baru 17.875 liter per detik. Sejumlah warga dan pengelola gedung akhirnya menyedot air tanah dan mengolah air secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun pipa utama untuk mengalirkan air baku dari saluran induk Tarum Barat dari daerah Cakung menuju Cilincing dan Kamal Muara. Infrastruktur ini diharapkan menambah produksi air bersih untuk wilayah pesisir yang selama ini kekurangan.
Dalam kesempatan terpisah, Corporate Communication and Social Development Division Head PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) Meyritha Maryanie mengatakan, jumlah air baku dari Waduk Jatiluhur tidak bertambah sejak 1998. Karena itu, perlu diimbangi dengan sumber pasokan air baku lain lewat pemanfaatan air sungai. Kebutuhan air baku ini mendesak dan wajib dipenuhi karena jumlah pelanggan di Jakarta terus meningkat.
”Perlu ada konservasi air sungai yang berkelanjutan agar air permukaan di sungai-sungai di Jakarta bisa diolah menjadi sumber air baku. Dari 13 sungai yang melintasi Jakarta, tidak semua bisa diolah. Harapannya, ketahanan air Jakarta bisa meningkat,” ujar Meyritha dalam acara ”Walk for Water” di Jakarta, Minggu (20/3).
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari potensi bahaya akibat penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut. Oleh karena itu, selain memperkuat dan meninggikan tanggul laut, pemerintah juga menekan penyedotan air tanah dengan memperluas cakupan layanan air bersih perpipaan untuk meredam dampak buruknya.
Ketua Yayasan Pelestarian Lingkungan Hidup Komunitas Peduli Ciliwung Gema Bersuci Ikmaluddin Haziz mengatakan, di sekitar 112 titik di aliran Sungai Ciliwung masih terdapat penumpukan sampah akibat perilaku masyarakat dan industri yang membuang sampah atau limbah ke sungai. Kondisi ini ikut membuat sungai tidak bisa dijadikan air baku.
Menurut Ikmal, kondisi Sungai Ciliwung di beberapa daerah, khususnya Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, membaik. Banyaknya komunitas peduli sungai dapat menurunkan jumlah sampah lewat susur sungai. Beberapa organisme seperti ikan pun dapat hidup. Sosialisasi kepada masyarakat terus dilakukan. Dari situ, kualitas air sungai berpotensi untuk dapat diolah menjadi air baku. ”Tantangannya, bagaimana terus menyadarkan masyarakat untuk peduli air, membuat sungai jadi halaman rumah mereka,” ucap Ikmal.
Ahli gempa dan geodinamika dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menuturkan, penurunan muka tanah di Jakarta bisa dikontrol oleh pengambilan air tanah. ”Ini sejalan dengan pola penurunan tanah yang mengikuti pola akuifer yang sirkular. Kalau dipicu sesar, polanya akan memanjang,” katanya.
Muka tanah turun
Ahli kelautan yang juga Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan, menyebutkan, kenaikan muka air laut tidak tepat dijadikan alasan membangun tanggul laut raksasa.
”Kenaikan muka air laut global akibat pemanasan iklim hanya 2-3 mm per tahun. Untuk Laut Jawa sekitar 7 mm per tahun. Jadi, mengaitkan kenaikan air laut dengan tanggul laut raksasa terlalu jauh. Persoalan Jakarta lebih karena penurunan muka tanah,” lanjutnya.
Menurut Alan, dengan adanya penurunan muka tanah, Jakarta membutuhkan dinding penghalang. ”Tetapi, cukup di lokasi-lokasi yang penurunan muka tanahnya ekstrem, misalnya Pluit atau Muara Angke,” ujarnya.
Pembangunan tanggul laut raksasa dan reklamasi pulau baru di Teluk Jakarta, menurut Alan, justru menjadi masalah baru. Misalnya, akan menyumbat aliran air di muara dan menambah sedimentasi sehingga ancaman banjir bertambah akibat limpasan air.
Penurunan muka tanah Jakarta lebih disebabkan faktor antropogenik karena pengambilan air tanah secara berlebih, selain juga struktur tanah yang aluvial. Pembangunan tanggul laut raksasa dan reklamasi di Teluk Jakarta dinilai tidak bisa mengatasi persoalan ini, bahkan bisa menjadi masalah baru.
Widjo Kongko, ahli kelautan Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mengatakan, tanah turun di Jakarta progresif rata-rata 7,5 cm per tahun. Bahkan, berdasarkan penelitian geolog senior Jan Sopaheluwakan, sejak beberapa tahun lalu, daratan Jakarta terus turun dengan laju 4-20 cm per tahun. (AIK/MKN/DEA/C07)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2016, di halaman 1 dengan judul "Penyedotan Air Tanah Sulit Dihindari".
Berdasarkan data PAM Jaya, cakupan layanan air bersih sampai akhir tahun 2015 mencapai 814.000 sambungan atau sekitar 62,08 persen dari total wilayah Jakarta. ”Ada kenaikan 0,6 persen dibandingkan tahun 2014,” kata Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat, akhir pekan lalu.
Kebutuhan air bersih di DKI Jakarta mencapai 29.474 liter per detik. Namun, kapasitas produksi air perpipaan baru 17.875 liter per detik. Sejumlah warga dan pengelola gedung akhirnya menyedot air tanah dan mengolah air secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun pipa utama untuk mengalirkan air baku dari saluran induk Tarum Barat dari daerah Cakung menuju Cilincing dan Kamal Muara. Infrastruktur ini diharapkan menambah produksi air bersih untuk wilayah pesisir yang selama ini kekurangan.
Dalam kesempatan terpisah, Corporate Communication and Social Development Division Head PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) Meyritha Maryanie mengatakan, jumlah air baku dari Waduk Jatiluhur tidak bertambah sejak 1998. Karena itu, perlu diimbangi dengan sumber pasokan air baku lain lewat pemanfaatan air sungai. Kebutuhan air baku ini mendesak dan wajib dipenuhi karena jumlah pelanggan di Jakarta terus meningkat.
”Perlu ada konservasi air sungai yang berkelanjutan agar air permukaan di sungai-sungai di Jakarta bisa diolah menjadi sumber air baku. Dari 13 sungai yang melintasi Jakarta, tidak semua bisa diolah. Harapannya, ketahanan air Jakarta bisa meningkat,” ujar Meyritha dalam acara ”Walk for Water” di Jakarta, Minggu (20/3).
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari potensi bahaya akibat penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut. Oleh karena itu, selain memperkuat dan meninggikan tanggul laut, pemerintah juga menekan penyedotan air tanah dengan memperluas cakupan layanan air bersih perpipaan untuk meredam dampak buruknya.
Ketua Yayasan Pelestarian Lingkungan Hidup Komunitas Peduli Ciliwung Gema Bersuci Ikmaluddin Haziz mengatakan, di sekitar 112 titik di aliran Sungai Ciliwung masih terdapat penumpukan sampah akibat perilaku masyarakat dan industri yang membuang sampah atau limbah ke sungai. Kondisi ini ikut membuat sungai tidak bisa dijadikan air baku.
Menurut Ikmal, kondisi Sungai Ciliwung di beberapa daerah, khususnya Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, membaik. Banyaknya komunitas peduli sungai dapat menurunkan jumlah sampah lewat susur sungai. Beberapa organisme seperti ikan pun dapat hidup. Sosialisasi kepada masyarakat terus dilakukan. Dari situ, kualitas air sungai berpotensi untuk dapat diolah menjadi air baku. ”Tantangannya, bagaimana terus menyadarkan masyarakat untuk peduli air, membuat sungai jadi halaman rumah mereka,” ucap Ikmal.
Ahli gempa dan geodinamika dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menuturkan, penurunan muka tanah di Jakarta bisa dikontrol oleh pengambilan air tanah. ”Ini sejalan dengan pola penurunan tanah yang mengikuti pola akuifer yang sirkular. Kalau dipicu sesar, polanya akan memanjang,” katanya.
Muka tanah turun
Ahli kelautan yang juga Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan, menyebutkan, kenaikan muka air laut tidak tepat dijadikan alasan membangun tanggul laut raksasa.
”Kenaikan muka air laut global akibat pemanasan iklim hanya 2-3 mm per tahun. Untuk Laut Jawa sekitar 7 mm per tahun. Jadi, mengaitkan kenaikan air laut dengan tanggul laut raksasa terlalu jauh. Persoalan Jakarta lebih karena penurunan muka tanah,” lanjutnya.
Menurut Alan, dengan adanya penurunan muka tanah, Jakarta membutuhkan dinding penghalang. ”Tetapi, cukup di lokasi-lokasi yang penurunan muka tanahnya ekstrem, misalnya Pluit atau Muara Angke,” ujarnya.
Pembangunan tanggul laut raksasa dan reklamasi pulau baru di Teluk Jakarta, menurut Alan, justru menjadi masalah baru. Misalnya, akan menyumbat aliran air di muara dan menambah sedimentasi sehingga ancaman banjir bertambah akibat limpasan air.
Penurunan muka tanah Jakarta lebih disebabkan faktor antropogenik karena pengambilan air tanah secara berlebih, selain juga struktur tanah yang aluvial. Pembangunan tanggul laut raksasa dan reklamasi di Teluk Jakarta dinilai tidak bisa mengatasi persoalan ini, bahkan bisa menjadi masalah baru.
Widjo Kongko, ahli kelautan Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mengatakan, tanah turun di Jakarta progresif rata-rata 7,5 cm per tahun. Bahkan, berdasarkan penelitian geolog senior Jan Sopaheluwakan, sejak beberapa tahun lalu, daratan Jakarta terus turun dengan laju 4-20 cm per tahun. (AIK/MKN/DEA/C07)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2016, di halaman 1 dengan judul "Penyedotan Air Tanah Sulit Dihindari".
Hujan mulai jatuh, sesuai dengan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bulan lalu. Di Jakarta, hujan telah mulai menampakkan tanda-tanda ulangan daur tahunan banjir yang tentu bikin pening warga dan otoritas setempat. Seperti dapat ditengok di daerah Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Sabtu (7/11).
Di tengah kekhawatiran mengenai salinan siklus banjir, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mewanti-wanti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk lebih mewaspadai penurunan permukaan tanah ketimbang banjir belaka. Pasalnya, perkara tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab pokok banjir di ibu kota Indonesia.
"Menurut data, 40 persen wilayah Jakarta sudah mengalami penurunan tanah. Dari 40 persen wilayah Jakarta yang sudah mengalami penurunan tanah, wilayah yang paling banyak ialah Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan sebagian wilayah Jakarta Barat," ujarnya dikutip Detik (8/11).
Penyebab yang terutama penurunan tanah tersebut? "Penggunaan air tanah yang berlebihan," katanya.
Moriyasu Kunihiro, Penasihat Kebijakan Sumber Daya Air untuk Kementerian Pekerjaan Umum dari Japan Indonesian Cooperation Agency (JICA), pada kesempatan berbeda memaparkan hubungan antara kepadatan penduduk dengan banyaknya penggunaan sumur air tanah.
"Permukaan tanah turun karena Jakarta...banyak mengambil air dari sumur, ... (yang lantas) menyebabkan tanah turun," ujarnya dikutip Viva (4/11).
Ia menyebut sektor industri dan rumah tangga sebagai kontributor terbesar pemakai air tanah Jakarta.
Pernyataan Moriyasu itu bertalian dengan prediksi bahwa Jakarta bakal tenggelam pada 2050 jika praktik pemanfaatan air tanah dengan laju kiwari terus berlangsung.
Dalam menanggapi prediksi tersebut, Jepang, terangnya, siap membantu Jakarta dalam menekan percepatan tersebut dengan menerapkan teknologi manajemen air tanah. Dalam hal waktu persis penyelenggaraan bantuan, Moriyasu tidak dapat memberikan kepastian.
"Semua ada proses. Untuk melakukan riset saja membutuhkan waktu 10 tahun," katanya dikutip Viva (7/11).
Fook Chuan Eng, spesialis senior masalah air dan sanitasi dari Bank Dunia, menjelaskan bahwa fenomena penurunan tanah di Jakarta terjadi karena volume air yang disedot terlampau besar. "Orang terus mencari air hingga kian ke dalam. Tanah pun amblas," ujarnya dikutip Reuters (22/12/2014).
Pertumbuhan ekonomi domestik dalam beberapa dasawarsa belakangan telahmengubah lanskap kota yang sebelumnya tumbuh horizontal menjadi dipenuhi bangunan-bangunan menjulang. Akibatnya, bobot dari bangunan-bangunan tersebut mendesak tanah di bawahnya.
Salah satu pakar yang fasih dengan ancaman banjir Jakarta adalah JanJaap Brinkman, ahli masalah air dari Deltares, institut penelitian air Belanda.
Ia adalah seorang anggota konsorsium yang diminta oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan solusi dalam mempertahankan dan memulihkan jalur-jalur air di Jakarta tidak lama setelah banjir 2007 melumpuhkan ibu kota.
Menurutnya, penurunan lahan Jakarta berkisar antara 7,5 cm hingga 25 cm per tahun. Ujungnya, air dari laut akan masuk ke kota--yang 40 persen wilayahnya memang sudah berada di bawah permukaan air laut. Jadi, seperti diulas National Geographic Indonesia, titik terendah Jakarta kini terletak di kawasan Kota.
"Bayangkan bila lahan Jakarta terus menurun seperti sekarang. Seberapa hebat bencana yang akan ditimbulkan banjir besar selanjutnya," ujarnya (16/10).
Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah mengatakan, pencurian air tanah diduga terjadi di 10 ribu titik di DKI Jakarta. Saefullah menyebut, data itu berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Angka dari KPK waktu itu disinyalir sekitar 10.000-an titik," kata Saefullah di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin (31/7/2017).
Menurut Saefullah, Asisten Perekonomian Sekda DKI Jakarta akan memetakan pajak tanah yang ada di DKI. Pemetaan dilakukan untuk mencari solusi menyeluruh terkait pencurian air tanah tersebut.
"Jadi penyelesaiannya harus holistik, betul-betul memecahkan semua persoalan. Saya minta di-mapping dulu," kata dia.
Saefullah mengingatkan semua pemilik gedung dan pemilik apartemen untuk melaporkan penggunaan air tanah mereka. Pemprov DKI akan melakukan sidak dan memberikan sanksi apabila terbukti ada pencurian tanah yang mereka lakukan.
"Kami warning (peringatan) untuk para pengusaha apartemen yang menggunakan air tanah untuk lapor dan pasang meter. Kalau tidak, nanti tim terpadu ini akan on the spot ke sana. Kalau terjadi pelanggaran, akan kami tegakkan sanksi," kata Saefullah.
kompas.com
"Angka dari KPK waktu itu disinyalir sekitar 10.000-an titik," kata Saefullah di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin (31/7/2017).
Menurut Saefullah, Asisten Perekonomian Sekda DKI Jakarta akan memetakan pajak tanah yang ada di DKI. Pemetaan dilakukan untuk mencari solusi menyeluruh terkait pencurian air tanah tersebut.
"Jadi penyelesaiannya harus holistik, betul-betul memecahkan semua persoalan. Saya minta di-mapping dulu," kata dia.
Saefullah mengingatkan semua pemilik gedung dan pemilik apartemen untuk melaporkan penggunaan air tanah mereka. Pemprov DKI akan melakukan sidak dan memberikan sanksi apabila terbukti ada pencurian tanah yang mereka lakukan.
"Kami warning (peringatan) untuk para pengusaha apartemen yang menggunakan air tanah untuk lapor dan pasang meter. Kalau tidak, nanti tim terpadu ini akan on the spot ke sana. Kalau terjadi pelanggaran, akan kami tegakkan sanksi," kata Saefullah.
kompas.com
Lahan gambut merupakan ekosistem penyimpan dan penyerap karbon yang penting, diperkirakan menyimpan lebih dari 600 Gt karbon. Ketika kering, lahan gambut mudah terbakar. Pada saat bersamaan, di atas lahan gambut, jutaan petani hidup dari praktik pertanian tak berkelanjutan. Kebakaran dan asap pada 2015 di Indonesia, menyumbang 15% emisi karbon dunia di tahun tersebut, hanya dalam beberapa pekan saja. Kejadian ini menimbulkan kerugian ekonomi miliaran dolar AS, memicu krisis kesehatan masyarakat, sekaligus mengangkat konflik kepentingan ini menjadi sorotan dunia.
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia memprioritaskan konservasi dan restorasi lahan gambut. Pada Januari 2016, Presiden Joko Widodo mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG). Pada November 2016, Badan Lingkungan PBB (UN Environment) dan para mitranya meluncurkan Inisiatif Lahan Gambut Dunia pada COP22 di Marrakesh. Dua lembaga (nasional dan internasional) ini bekerja di garis depan kebijakan dan lapangan dalam perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan lahan gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian Indonesia juga berkontribusi terhadap upaya tersebut.
Sementara, sektor korporasi, yang memanfaatkan lahan gambut untuk produksi minyak sawit, membuat komitmen merestorasi jutaan hektare lahan gambut terdegradasi di Indonesia dan di negara lain (seperti Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo dan Amazon Peru yang juga memiliki cadangan lahan gambut luas). Meski aktivitas lintas sektor dan komitmen ini sepertinya menjanjikan, masih banyak yang perlu dipelajari mengenai dampak restorasi dan siapa yang membiayainya, disamping bagaimana mengatasi tantangan kerumitan pengelolaannya.
www.landscapes.org
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia memprioritaskan konservasi dan restorasi lahan gambut. Pada Januari 2016, Presiden Joko Widodo mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG). Pada November 2016, Badan Lingkungan PBB (UN Environment) dan para mitranya meluncurkan Inisiatif Lahan Gambut Dunia pada COP22 di Marrakesh. Dua lembaga (nasional dan internasional) ini bekerja di garis depan kebijakan dan lapangan dalam perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan lahan gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian Indonesia juga berkontribusi terhadap upaya tersebut.
Sementara, sektor korporasi, yang memanfaatkan lahan gambut untuk produksi minyak sawit, membuat komitmen merestorasi jutaan hektare lahan gambut terdegradasi di Indonesia dan di negara lain (seperti Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo dan Amazon Peru yang juga memiliki cadangan lahan gambut luas). Meski aktivitas lintas sektor dan komitmen ini sepertinya menjanjikan, masih banyak yang perlu dipelajari mengenai dampak restorasi dan siapa yang membiayainya, disamping bagaimana mengatasi tantangan kerumitan pengelolaannya.
www.landscapes.org
Langganan:
Postingan (Atom)